Islam Sebagai Fikrah
Iman yang kuat akan memperluas wawasan batin seseorang dalam menghadapi berbagai masalah hidup, karena iman berfungsi seperti cahaya yang menenangkan hati. Semakin kokoh keimanan, semakin terasa kedamaian yang dibawanya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika seorang mukmin mampu melihat hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh pandangan orang yang tidak beriman.
Setiap manusia memiliki potensi untuk beriman atau mengingkari kebenaran. Selalu ada pertempuran dalam diri antara hati yang bersih dan nafsu. Siapa pun yang lebih dominan antara keduanya, akan sangat memengaruhi cara pandangnya terhadap berbagai persoalan. Hal-hal yang esensial dan mendalam, seperti hakikat Tuhan, kenabian, ibadah, alam semesta, manusia, dan kehidupan, adalah bagian dari pemahaman yang perlu diperoleh dengan benar dan lurus.
Dengan iman yang teguh, seorang muslim akan memperoleh kejelasan batin yang lebih tajam. Ia akan merujuk kepada bukti-bukti yang jelas, baik melalui Al-Qur’an, hadits, maupun ilmu pengetahuan. Iman memberikan cahaya yang bersumber dari cahaya yang lain. Iman mengalahkan hawa nafsu. Karena itu, pandangannya tentang Tuhan, wahyu, ibadah, alam, manusia, dan kehidupan pun akan selalu dipandu oleh ajaran Islam. Pandangan yang Islami ini akan menghasilkan gagasan-gagasan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, yang kemudian terejawantah dalam tindakan yang Islami pula.
Sebaliknya, orang yang tidak beriman, nafsunya menutupi pandangan hatinya dan menolak bukti-bukti yang ada, sehingga ia kesulitan untuk memahami hakikat segala sesuatu. Hal-hal yang tidak bisa dipahami dengan akal sehat, dipaksakan untuk dipahami dengan cara berpikirnya yang terbatas. Lebih parah lagi, akalnya pun dibelenggu oleh kabut nafsu yang pekat. Karena itu, pandangan hidupnya tentang Tuhan, wahyu, ibadah, alam, manusia, dan kehidupan cenderung salah. Pandangan yang keliru ini hanya akan melahirkan pemikiran dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, yang disebut dengan tindakan jahiliyah.
Sebagai seorang muslim yang telah mengucapkan syahadat, kita dituntut untuk melihat segala persoalan melalui kaca mata Islam. Seorang muslim harus mengutamakan iman, bukti-bukti yang nyata, serta argumentasi yang sahih, dan menanggalkan pengaruh hawa nafsu. Hanya dengan cara ini, seseorang bisa menjadi muslim sejati, yang tidak hanya memiliki status sebagai seorang muslim, tetapi juga memiliki pandangan, pemikiran, dan perbuatan yang Islami. Sebaliknya, jika nafsu lebih mendominasi, maka meskipun statusnya seorang muslim, pandangannya, pemikirannya, dan perbuatannya akan masih terjebak dalam kebodohan jahiliyah.
Suatu ketika, sahabat Rasulullah, Abu Dzar al-Ghifari, mendapat teguran keras dari Rasulullah saw. karena ia masih memiliki pandangan yang salah terhadap Bilal bin Rabah, sahabat Rasulullah yang suaranya sudah terdengar di surga. Abu Dzar menyebut Bilal dengan sebutan anak perempuan hitam, padahal Allah tidak menilai seseorang berdasarkan warna kulit atau fisik. Yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Abu Dzar merasa menyesal setelah teguran tersebut dan bahkan meminta agar Bilal membalas perlakuannya dengan menginjak kepalanya.
Menurut Ibnu Qayyim ra., pembentukan kepribadian bermula dari lintasan pikiran. Jika lintasan pikiran ini dibiarkan, ia akan berkembang menjadi suatu gagasan. Gagasan yang dibiarkan akan menjadi niat, dan niat itu akan tumbuh menjadi tekad. Tekad yang kuat akhirnya terwujud dalam perbuatan. Jika perbuatan ini terus dilakukan, ia akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan akan membentuk karakter. Karakter ini, pada akhirnya, akan menjadi budaya dalam diri seseorang.
Orang yang bijaksana dan kuat adalah mereka yang mampu mengendalikan dirinya. Mengendalikan pikiran yang muncul lebih mudah daripada mengubah kebiasaan yang sudah tertanam.