Jiwa Manusia
Esensi Jiwa Manusia
Salah satu aspek paling unik dalam diri manusia adalah jiwanya. Baik atau buruknya seseorang sangat bergantung pada kondisi jiwanya. Sayangnya, jiwa bukanlah sesuatu yang sepenuhnya berada dalam kendali manusia, sehingga sering kali seseorang tidak menyadari dalam keadaan seperti apa jiwanya. Jika manusia memiliki kendali penuh atas jiwanya, tentu ia akan menjaganya agar senantiasa berada dalam keadaan terbaik. Allah telah mengilhamkan kepada setiap jiwa kecenderungan untuk melakukan keburukan (fujur) maupun kebaikan (takwa). Keberhasilan manusia bergantung pada kemampuannya mengelola jiwa agar kecenderungan takwa lebih mendominasi dibandingkan kecenderungan fujur. Pertarungan antara dua dorongan ini tidak pernah berakhir. Berdasarkan dominasi ruh dan nafsu, jiwa manusia dapat dikategorikan ke dalam tiga tingkatan utama:
-
Jiwa yang Dikendalikan Nafsu
Ketika nafsu lebih kuat dibandingkan ruh, maka jiwa seseorang akan cenderung mengikuti keinginan duniawi dan kesenangan sesaat. Jiwa dalam kondisi ini selalu mendorong pemiliknya untuk melakukan keburukan. Ini merupakan tingkatan jiwa yang paling rendah. Jika tidak segera diperbaiki, jiwa ini akan semakin condong kepada perbuatan tercela, hingga akhirnya menyeret pemiliknya ke dalam kehinaan. Dalam kondisi yang lebih parah, seseorang bisa berperilaku seperti binatang atau bahkan mengikuti langkah-langkah setan. Na’udzubillah min dzalik.
-
Jiwa yang Berada dalam Pergolakan
Apabila kekuatan ruh dan nafsu seimbang, maka seseorang akan mengalami tarik ulur antara dorongan untuk melakukan amal shalih dan kecenderungan untuk berbuat dosa. Jiwa dalam kondisi ini sering kali mempertimbangkan segala sesuatu sebelum bertindak, baik dalam hal kebaikan maupun keburukan. Perjuangan antara kecenderungan positif dan negatif terus berlangsung tanpa henti. Jika melakukan keburukan, ia akan menyesal dan mencela dirinya sendiri. Begitu pula jika melakukan kebaikan, ia masih merasa bisa melakukan sesuatu yang lebih baik. Jenis jiwa ini lebih baik dibandingkan yang pertama dan sering kali dimiliki oleh kebanyakan kaum Muslimin.
-
Jiwa yang Tenang (Nafsul Muthmainnah)
Jika ruh lebih dominan dibandingkan nafsu, maka seseorang akan selalu mengingat Allah dalam setiap keadaan. Jiwa yang tenang ini merasa damai dalam menjalankan ketaatan, ibadah terasa ringan, dan hati selalu tenteram saat berdzikir. Jiwa dalam tingkatan ini dimiliki oleh para kekasih Allah, seperti para nabi, orang-orang shiddiq, syuhada, serta kaum shalih. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita jiwa yang tenang ini, sehingga kelak kita mendapatkan panggilan indah dari-Nya:
“Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai. Bergabunglah dengan hamba-hamba-Ku yang saleh dan masuklah ke dalam surga-Ku.”(QS. Al-Fajr: 27-30).
Allah tidak menghendaki manusia menjadi malaikat, karena manusia telah diberikan potensi untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, manusia terbaik bukanlah yang tidak pernah melakukan dosa, melainkan mereka yang segera bertaubat ketika melakukan kesalahan.
Untuk menjaga kebersihan jiwa, kita diperintahkan untuk selalu melakukan penyucian diri (tazkiyatun nafs). Proses ini dilakukan dengan menjauhi sifat-sifat tercela dan menggantinya dengan sifat-sifat terpuji. Beberapa cara untuk menyucikan jiwa antara lain adalah membaca dan mentadabburi Al-Qur’an, merenungi ciptaan Allah, menuntut ilmu, melaksanakan shalat wajib dan sunnah, berpuasa, berdakwah, serta bergaul dengan orang-orang shalih.
Allah berfirman:
“Beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya, dan merugilah mereka yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10).