Loyalitas Dan Penolakan

Loyalitas dan Penolakan

Pemahaman tentang Syahadat Tauhid dan Syahadat Rasul: Konsep Wala’ dan Bara’ dalam Islam

 

Syahadat tauhid memiliki dua bagian penting yang saling melengkapi. Bagian pertama adalah kalimat penafian, yaitu laa yang berarti “tidak” dan ilah yang dinafikan atau ditolak keberadaannya. Sedangkan bagian kedua adalah kalimat pengukuhan, yaitu illa yang berarti “kecuali” dan Allah yang dikhususkan sebagai satu-satunya yang diakui. Dengan demikian, kalimat laa ilaaha illallah mengandung arti bahwa segala bentuk tuhan selain Allah ditolak keberadaannya, dan hanya Allah yang diakui sebagai satu-satunya Tuhan.

Bagian pertama syahadat tauhid mencerminkan sikap penolakan terhadap segala bentuk ilah atau sesembahan selain Allah. Penolakan ini diwujudkan melalui pengingkaran, pemutusan hubungan, bahkan penghancuran segala bentuk ilah yang menyimpang. Sedangkan bagian kedua adalah pengukuhan ketaatan dan loyalitas kepada Allah yang diwujudkan melalui ibadah, pembelaan, kedekatan, dan cinta yang tulus kepada-Nya.

Keikhlasan dalam beribadah kepada Allah hanya dapat terwujud jika seseorang menolak segala bentuk peribadatan kepada selain Allah. Penghambaan ini bersifat total, dengan loyalitas penuh kepada Allah sebagai satu-satunya yang berhak disembah.

Dalam pelaksanaan ajaran Islam, termasuk konsep wala’ wa bara’ (loyalitas dan penolakan), seorang muslim tidak cukup hanya memiliki niat ikhlas kepada Allah. Semua itu harus dilakukan sesuai kehendak Allah, sebagaimana telah diturunkan dalam wahyu yang dibawa Rasulullah SAW sebagai pedoman.

 

Makna Syahadat Rasul


Syahadat Rasul mengajarkan kepada umat Islam untuk mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Beliau adalah pembawa ajaran Allah, termasuk panduan dalam melaksanakan wala’ wa bara’. Rasulullah SAW memberikan arahan, contoh, dan teladan kepada umatnya. Tugas seorang mukmin adalah mengikuti tuntunan Rasulullah SAW dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam ibadah ritual (mahdhah) maupun ibadah sosial (ghairu mahdhah).

Syahadat tauhid menegaskan pentingnya penghambaan yang murni kepada Allah. Sedangkan syahadat Rasul mengikat seorang muslim untuk menjalankan ibadah sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW, baik dalam hubungan vertikal kepada Allah maupun horizontal kepada sesama makhluk.

 

Prinsip Wala’ wa Bara’ yang Seimbang


Dalam implementasinya, prinsip wala’ wa bara’ yang lahir dari akidah tauhid tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Tanpa tuntunan yang jelas dari Rasulullah SAW, prinsip ini bisa menjadi radikal dan eksklusif sehingga merugikan dakwah Islam.

Dalam hadis riwayat Muslim, disebutkan bahwa cara beragama yang paling dicintai Allah adalah al-hanifiyyatus samhah (kemurnian akidah yang disertai keluwesan dalam bermuamalah). Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada penolakan terhadap kemusyrikan, seorang muslim tetap harus bijak dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda keyakinan.

Contoh nyata dari prinsip ini adalah ketika para sahabat Rasulullah SAW, meskipun menolak kemusyrikan, tidak serta-merta mengambil tindakan radikal. Rasulullah SAW bahkan mencegah tindakan tergesa-gesa yang dapat merugikan umat Islam, seperti yang terjadi pada Abu Dzar Al-Ghifari. Beliau baru diizinkan untuk menyuarakan syahadat secara terbuka setelah Islam memiliki posisi sosial dan politik yang kuat.

Penghancuran berhala di Ka’bah, misalnya, baru dilakukan pada saat Fathu Makkah, sekitar sepuluh tahun setelah hijrah. Hal ini bukan berarti Islam mentolerir keberhalaan, melainkan menunjukkan bahwa segala tindakan harus sesuai dengan sunnah Nabi SAW yang penuh kebijaksanaan.

Dengan memahami konsep wala’ wa bara’ yang seimbang, seorang muslim dapat menjalankan akidah tauhid dengan tetap menghormati panduan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Prinsip ini penting untuk menjaga kesucian akidah tanpa melupakan misi dakwah yang inklusif dan produktif.

Artikel Lain